Abdullah bin Amru bin Haram

Abdullah bin Amru bin Haram (bahasa Arab: عبد الله بن عمرو بن حرام) salah satu pimpinan dan tokoh Khazraj di Yatsrib, Madinah. Ia berkulit kemerahan, botak dan tidak tinggi.[1]

Kisah masuk Islamnya Abdullah bin Amru bin Haram, ayahanda Jabir tersebut, terjadi sebelum Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat hijrah dari Mekkah ke Madinah. Abdullah bin Amru bin Haram ikut dalam rombongan penduduk Yatsrib (Madinah) menuju Aqabah. Kala itu, sekitar 70 orang warga Yatsrib menyatakan sumpah setia (baiat) kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Awalnya Abdullah belum mau memeluk Islam namun setelah diajak sahabatnya akhirnya ia ikut dalam momentum bersejarah itu pada tahun 622 M, tahun ke 13 Kenabian.

Para sahabat Abdullah, mendekatinya dan menuturkan bagaimana akhir kehidupan kaum musyrik. Allah melapangkan dada Abdullah. Akhirnya, ia menerima Islam dan selalu konsisten dengan keputusannya itu.

Dr Abdul Hamid as-Suhaibani dalam bukunya, Para Sahabat Nabi, menceritakan satu sahabat yang berhasil membujuk Abdullah bin Amru bin Haram kepada Islam, Ka’ab bin Malik.

Dia menuturkan, “Bersama kami (dalam baiat Aqabah), ada Abdullah bin Amru bin Haram, bapaknya Jabir, yang saat itu masih musyrik. Kami berkata kepadanya, ‘Wahai, Abu Jabir. Demi Allah, kami mengkhawatirkan dirimu mati di atas keyakinanmu sehingga esok hari engkau menjadi kayu bakar neraka. Sesungguhnya Allah telah mengutus seorang rasul yang memerintahkan manusia agar bertauhid kepada Allah dan menyembah-Nya.”[2]

Perang Badar

Saat itu, pasukan Muslim dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjelang tiba di medan perang Badar. Mereka pun melewati as-Suqya, sebuah sumur di Madinah. Bagi Abdullah, tempat ini tidak asing karena masih menjadi bagian dari kekuasaan kabilahnya.

Untuk itu, Abdullah meminta Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam agar bersedia singgah sebentar di sumur tersebut. “Sesungguhnya tempat ini adalah tempat tinggal kami, Bani Salimah. Pernah terjadi, di antara kami dan orang-orang Husaikah, sekelompok Yahudi, akan berperang. Maka kami memarkaskan orang-orang kami di sini. Kemudian, kami memeriksa, siapa saja di antara kami yang dapat memanggul senjata, maka dapat ikut berperang. Siapa saja yang belum mampu, maka kami memulangkannya,” tutur Abdullah kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.

“Kemudian, kami bergerak menuju lokasi kami berhadapan dengan Yahudi Husaikah. Kami banyak membunuh di antara mereka (memenangkan pertempuran). Maka, sampai hari ini orang-orang Yahudi lainnya tunduk kepada kami karena itu,” lanjutnya.

Abdullah menceritakan kisah itu semata-mata agar pasukan Muslim terinspirasi dengan semangat juang kabilahnya dalam melawan musuh, meskipun saat itu jumlah pasukan Muslim tidak sebanyak pasukan musyrik Quraisy.

Dengan singgah sebentar di sumur as-Suqya, Abdullah dapat mengenang kembali dan berdoa bahwa kemenangan yang sama juga akan terulang di Perang Badar. “Aku berharap, wahai Rasulullah, kita nanti akan bertemu dengan Quraisy lalu Allah memberikan kemenangan kepadamu atas mereka,” kata Abdullah.

Perang Uhud

Di hari-hari menjelang Perang Uhud, Abdullah bin Ubay mewanti-wanti orang-orang Madinah agar tetap tinggal di rumah masing-masing. Pemimpin kaum munafik ini menuding Perang Uhud, bilapun terjadi, hanya melibatkan kaum muhajirin dan musyrik Quraisy sehingga sah-sah saja orang asli Madinah tidak menyertai. Abdullah bin Amru bin Haram geram dengan seruan sesat Abdullah bin Ubay itu.

“Aku mengingatkan kalian akan Allah, agama, dan Nabi kalian, serta apa-apa yang telah kalian setujui, bahwa kalian melindunginya (Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam) seperti kalian melindungi diri, anak-anak, dan istri-istri kalian sendiri,” seru Abdullah bin Amru bin Haram kepada penduduk Madinah[3].

Abdullah bin Ubay kemudian membalasnya, “Aku melihat tidak akan ada perang di antara mereka. Bila kamu mematuhiku, wahai Abu Jabir, maka pulanglah. Karena, orang-orang yang berakal dan memahami, telah pulang.”[3]

Saat itu, kubu Abdullah bin Ubay sudah memperdaya hampir sepertiga pasukan Muslim yang telah bersiap-siap ke medan Uhud sehingga memilih tinggal di Madinah. Karena itu, Abu Jabir alias Abdullah bin Amru memperingatkan mereka dan sang munafikun itu sendiri, “Wahai musuh-musuh Allah! Semoga Allah menjauhkan kalian! Allah akan mencukupkan Nabi-Nya sehingga dia tidak membutuhkan kalian.”[2][3]

Ternyata, peristiwa itu menjadi latar turunnya wahyu Allah, surat Ali Imran ayat 167. Di sana ditegaskan, Allah mengetahui siapa saja orang munafik. “Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan.[3]

Mereka mengatakan dengan mulut-mulut mereka apa yang tidak terkandung dalam hati mereka. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan,” demikian kutipan terjemahan akhir ayat tersebut.

Namun, sebelum kaum muslimin berangkat menyongsong perang Uhud yang penuh prahara, Abdullah bin Amru bin Haram sempat mendapatkan firasat atas kesyahidan dirinya. Dalam benaknya ia merasa kelak akan mejadi syuhada pertama di medan Uhud.

Suatu perasaan kuat meliputi dirinya bahwa ia tak akan kembali. Hal itu sama sekali tak membuatnya sedih namun justru suka cita terpancar dari hatinya. Maka, ia pun memanggil anaknya, Jabir bin Abdullah yang juga sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan wasiat.

اني لا أراي الا مقتولا في هذه الغزوة بل لعلي سأكون أول شهدائها من المسلمين، واني والله، لا أدع أحدا بعدي أحبّ اليّ منك بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم وان عليّ دبنا، فاقض عني ديني، واستوص باخوتك خيرا

“Sesungguhnya ayahanda merasa yakin akan gugur dalam peperangan ini, bahkan mungkin akan menjadi syuhada pertama di kalangan kaum muslimin. Dan demi Allah, sungguh ayahanda tak rela sepeninggalku mencintai seorang pun diantaramu melebihi cintanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Selain itu, sebetulnya ayahanda memiliki hutang, maka lunasilah hutangku dan wasiatkanlah kepada saudara-saudaramu agar mereka suka berbuat baik.”[4]

Abdullah bin Amru bin Haram termasuk dalam lima puluh orang pemanah pimpinan Abdullah bin Jubair yang ditunjuk Nabi Shallallahu alaihi wasallam untuk menjaga garis pertahanan di atas bukit. Pertempuran berlangsung dengan sengit, pasukan Quraisy dapat dipukul mundur dan mereka meninggalkan harta ghanimah yang terserak di medan pertempuran Uhud.

Para pemanah di atas bukit sebenarnya telah diminta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak meninggalkan tempatnya, menang atau kalah, sampai diperintahkan oleh beliau sendiri. Tetapi sebagian besar dari mereka tergiur dengan barang-barang orang Quraisy yang berserakan tersebut, mereka meninggal pos pertahanan dengan menuruni bukit untuk mengambilnya.

Sang komandan pemanah, Abdullah bin Jubair berteriak mengingatkan pesan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tersebut, tetapi mereka mengabaikannya, tinggallah hanya sekitar sepuluh orang, termasuk Abdullah bin Amru bin Haram yang bertahan di atas bukit.

Benar saja, tak lama berselang, sekelompok pasukan berkuda Quraisy di bawah pimpinan Khalid bin Walid yang saat itu belum masuk Islam, menaiki bukit pertahanan tersebut, dan terjadilah pertempuran tidak seimbang dengan sepuluh sahabat yang tersisa.

Abdullah bin Amru bin Haram berhadapan dengan salah seorang jago kaum musyrik, Sufyan bin Abdu Syams as-Sulami. Pedang Sufyan mengenai wajah Abdullah bin Amru dan menyebabkan luka yang cukup parah.

Wafat

Abdullah berupaya menahan rasa sakit selama mungkin tetapi akhirnya tubuhnya rubuh. Musuh Allah itu segera mengayunkan pedangnya hingga menyebabkan ajal menjemput sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam itu. Sejarah mencatat, Abdullah bin Amru bin Haram merupakan syuhada pertama di Perang Uhud.[5]

Seperti yang dialami para sahabat lainnya, jenazah Abdullah bin Amru dicincang kafir Quraisy yang begitu mendendam untuk membalas kekalahannya dalam perang Badr terdahulu.[butuh rujukan]

Sang anak, Jabir bin Abdullah dan sebagian keluarganya berdiri menangisi jenazah sang ayah yang amat mengenaskan.

جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : لَمَّا قُتِلَ أَبِي جَعَلْتُ أَكْشِفُ الثَّوْبَ عَنْ وَجْهِهِ أَبْكِي وَيَنْهَوْنِي عَنْهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْهَانِي فَجَعَلَتْ عَمَّتِي فَاطِمَةُ تَبْكِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْكِينَ أَوْ لَا تَبْكِينَ مَا زَالَتْ الْمَلَائِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ

Jabir bin 'Abdullah radhiallahu anhu berkata: Ketika bapakku meninggal dunia aku menyingkap kain penutup wajahnya, maka aku menangis namun orang-orang melarangku menangis sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melarangku. Hal ini membuat bibiku Fathimah ikut menangis. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dia menangis atau tidak menangis, malaikat senantiasa akan tetap menaunginya sampai kalian mengangkatnya".[6]

Demikianlah kemuliaan bagi Abdullah bin Amru bin Haram bersama para syuhada uhud lainnya, di mana para malaikat menaungi dengan sayapnya.

Bahkan bukan hanya itu, bahkan setelah wafatnya Abdullah bin Amru bin Haram, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam menceritakan kegemarannya yang begitu cinta dengan mati syahid yang kemudian menjadi asbabun nuzul dari surat Ali Imran ayat 169-170:

سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ :لَمَّا قُتِلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَرَامٍ يَوْمَ أُحُدٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا جَابِرُ أَلا أُخْبِرُكَ مَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لابِيكَ قُلْتُ بَلَى قَالَ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا إِلَّا مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَكَلَّمَ أَبَاكَ كِفَاحًا فَقَالَ يَا عَبْدِي تَمَنَّ عَلَيَّ أُعْطِكَ قَالَ يَا رَبِّ تُحْيِينِي فَأُقْتَلُ فِيكَ ثَانِيَةً قَالَ إِنَّهُ سَبَقَ مِنِّي أَنَّهُمْ إِلَيْهَا لا يُرْجَعُونَ قَالَ يَا رَبِّ فَأَبْلِغْ مَنْ وَرَائِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَذِهِ الايَةَ : وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا Dari Jabir bin Abdillah berkata; ketika Abdullah bin Amru bin Haram terbunuh pada perang Uhud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; wahai Jabir maukah engkau aku kabarkan apa yang Allah ‘Azza wa Jalla firmankan kepada ayahmu? Aku menjawab; tentu ya Rasulullah, tidaklah Allah berbicara kepada seseorang pun kecuali dari balik hijab tapi Allah telah berbicara kepada ayahmu dengan bertatap muka, lalau Allah berfirman: 'Wahai hamba-Ku, memohonlah kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu, ' ia menjawab; 'Wahai Rabb, hidupkan aku kembali agar aku terbunuh di jalan-Mu untuk kedua kalinya.' Allah berfirman: 'Sesungguhnya telah berlalu dari-Ku bahwasanya mereka tidak akan kembali lagi ke sana, ' ia berkata; 'Wahai Rabb, kalau begitu sampaikanlah kepada orang yang berada di belakangku.'" Beliau bersabda: "Maka Allah Ta'ala menurunkan: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rizki."[7].

Beberapa riwayat menyebutkan, keajaiban terjadi. Jasad Abdullah tidak rusak dalam jangka waktu yang panjang, 46 tahun lamanya. Hal ini terungkap setelah makam Abdullah, yang menjadi satu dengan syuhada lainnya, Amr bin al-Jamuh, digali ulang. Sebab, bencana banjir sempat menyapu makam tersebut. Jabir yang menjadi saksi peristiwa hebat ini.[8]

Referensi

  1. ^ (Arab) Siyar A'lam an-Nubala – Abdullah bin Amru bin Haram Diarsipkan 13 أبريل 2017 di Wayback Machine.
  2. ^ a b Hisyam, Abu Muhammad Abdul Malik (2009). Sirah nabawiyah Ibnu Hisyam. Al Hidayah. ISBN 978-967-5274-63-3. OCLC 957360564. 
  3. ^ a b c d Ash-Shallabi, Prof Dr Ali Muhammad. Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 2. Pustaka Al-Kautsar. 
  4. ^ HR. Bukhari (1351)
  5. ^ Abu Naim Al-Asbahani (1998). Ma'rifah ash-Shahabah (edisi pertama). Dar al-Wathon. hlm. 1717.
  6. ^ H.R. Bukhari, Muslim No. 2471
  7. ^ H.R. Ibnu MajahNo.190, HR At-Tirmidzi No. 3013
  8. ^ HR. Ibnu Saad (3/2/106)